Insurance

Insurance

Rabu, 12 Februari 2014

Program Pensiun

Program pensiun pegawai swasta disiapkan

Dulu, orang berbondong-bondong menjadi pegawai negeri sipil (PNS) lantaran ada jaminan pensiun. Tapi, dua tahun lagi, baik PNS maupun pekerja swasta sama-sama mendapat jaminan masa pensiun dari Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.

Kewajiban ini merupakan perintah Undang-Undang (UU) No 24/ 2011 tentang BPJS dan UU No 40/ 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Aturan yang akan jalan mulai Juli 2015 ini berlaku bagi seluruh pekerja.

Elvyn G. Masassya, Direktur Utama PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) mengatakan, implementasi program pensiun bagi pekerja ini masih menunggu aturan teknis berupa Peraturan Presiden (Perpres) dan Peraturan Pemerintah (PP) yang memuat ketentuan lebih rinci atas kebijakan tersebut.

Saat ini, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemnakertras), Kementerian Keuangan (Kemkeu), dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) tengah menggodok draf peraturan teknis terkait pensiun ini. "Penyelenggara, seperti kami (Jamsostek) hanya memberikan masukan," katanya kepada KONTAN, Selasa (5/3). Paling telat, beleid teknis ini bakal rampung pada November 2013.

Elvyn mengungkapkan, sejauh ini, banyak usulan terkait pengelolaan pensiun ini. Kajian juga menyangkut mekanisme pengelolaan pensiun bagi pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) atau pindah tempat kerja, sampai model pensiunnya. Misalnya, besaran iuran pekerja antara 10%-20% dari upah. "Ini belum final karena masih dibahas," ujarnya.

Menurut Ruslan Irianto Simbolon, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kemenakertrans, total potongan maksimal pada pekerja sesuai UU No 11/1992 tentang Dana Pensiun, tidak boleh lebih dari 25% dari upah. BPJS masih mengupayakan iuran pensiun tidak membebani pekerja.

Tapi, kata Ruslan, idealnya, pembayaran premi pensiun pekerja swasta antara 5%-10% dari upah bulanan. "Iuran pensiun ini dibayar penuh oleh pekerja," jelasnya.

Anggota DJSN, Haryadi Sukamdani mengutarakan, konsep pensiun pekerja masih digodok, terutama soal model pensiun. Merujuk UU SJSN, program pensiun idealnya adalah model manfaat pasti. Tapi, DJSN khawatir, konsep ini sulit diterapkan karena kemampuan bayar berbeda.

Alternatif lain, menurut Haryadi, model dana pensiun iuran pasti paling relevan. "Kami akan membicarakan hal ini dengan Kadin, Apindo, dan Jamsostek," katanya.

http://nasional.kontan.co.id/news/program-pensiun-pegawai-swasta-disiapkan/2013/03/06

BPJS, Askes dan Asuransi Swasta

BPJS berlaku, bagaimana nasib askes kita?

Anda pernah mendengar kasus kematian Mudrika dan Dera? Dua nama itu sempat menghangat menjadi pemberitaan di media massa karena nasib mereka memilukan. Mudrika dan Dera adalah contoh kisah satire bahwa “si miskin dilarang sakit”. Penolakan rumahsakit menolong mereka – gara-gara mereka hanya berbekal Kartu Sehat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta– berujung pada kematian. Sungguh tragis sekaligus ironis!
Kisah itu mungkin akan happy ending andaikata mereka berasal dari keluarga mampu. Akhir yang menggembirakan mungkin juga terjadi andaikata negeri ini memiliki sistem jaminan kesehatan yang bagus bagi rakyat. Semoga Dera dan Mudrika menjadi “korban” terakhir ketiadaan jaminan pelayanan kesehatan di negeri ini.
Ya, ada secercah harapan bagi rakyat tak mampu yang mendambakan jaminan kesehatan dari negara. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) membuka harapan itu. BPJS bidang kesehatan yang akan memberikan jaminan pelayanan kesehatan pada seluruh warga negara, harus mulai beroperasi mulai pada 1 Januari 2014. Semoga harapan itu bukan pepesan kosong karena Peraturan Presiden (Perpres) No. 12/2013 menandaskan bahwa program ini wajib bagi seluruh warga negara.
Peserta dibagi ke dalam dua kelompok. Pertama adalah golongan penerima bantuan iuran (PBI) yang terdiri dari fakir miskin dan orang tak mampu. Lalu, kedua, golongan non-PBI. Masuk kelompok ini adalah para pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI), anggota Kepolisian Republik Indonesia (Polri), karyawan perusahaan swasta, pekerja mandiri, bukan pekerja seperti veteran, penerima pensiun, dan lain-lain.
Asal Anda tahu, sebenarnya, saat ini program jaminan kesehatan ini sudah ada. Namun, sifatnya opsional alias enggak wajib. Nah, dengan kewajiban kepesertaan, tak peduli karyawan bergaji Rp 20 juta per bulan atau pengusaha beromzet besar, harus ikut program ini.
Oh, iya, program BPJS kesehatan ini tidak gratis. Mengutip informasi di halaman maya PT Jamsostek (Persero), besar iuran jaminan pemeliharaan kesehatan (JPK) ini adalah sebesar 3% dari pendapatan untuk peserta lajang. Adapun bagi peserta yang telah berkeluarga, besar iuran 6%.
Maksimal pendapatan yang dijadikan dasar perhitungan ini adalah Rp 3,080 juta per bulan. Artinya, meski pendapatan Anda lebih besar, besar iuran tetap mengacu pada angka maksimal tersebut. Dengan begitu, iuran maksimal peserta lajang adalah sebesar Rp 92.400 per bulan atau Rp 1,109 juta per tahun.
Adapun bagi peserta berkeluarga, iuran maksimal adalah Rp 184.800 per bulan atau Rp 2,218 juta per tahun. Itu sudah termasuk kepesertaan suami/istri dan tiga anak tanggungan berusia maksimal 21 tahun atau belum menikah.
Anda mungkin bertanya dalam hati, ngapain ikut program BPJS nanti jika saat ini sudah memiliki asuransi kesehatan sendiri? Toh, program ini juga tidak gratis? Akankah program ini memadai dalam melindungi risiko kesehatan Anda? Masih perlukah kita membeli askes lagi ketika BPJS sudah berlaku massal? Bagaimana dengan polis asuransi kesehatan yang kini sudah kita miliki?
Tengok manfaatnya
Sebelum merasa terpaksa mengikuti program BPJS ini, simak dulu detail manfaat program ini. Menurut Sardjan Lubis, Kepala Humas Jamsostek, manfaat program ini cukup luas.
Pertama, pelayanan rawat jalan tingkat pertama oleh pelaksana pelayanan kesehatan (PPK), yang terdiri dari dokter umum atau dokter gigi, baik di puskesmas, klinik, balai pengobatan, atau praktik pribadi. Kedua, manfaat rawat jalan tingkat lanjut berupa pemeriksaan dan pengobatan ke dokter spesialis berdasarkan rujukan PPK I.
Ketiga, pelayanan rawat inap di rumahsakit. Keempat, pelayanan persalinan bagi peserta yang melahirkan atau istri peserta maksimal tiga kali kelahiran. Kelima, pelayanan khusus, yaitu rehabilitasi atau manfaat untuk mengembalikan fungsi tubuh. Keenam, layanan kondisi darurat.
Enam hal itu merupakan layanan standar yang sama bagi seluruh peserta. Pemerintah menunjuk PPK dari Sabang hingga Merauke. Informasi PPK yang bisa menjadi rujukan bisa Anda akses di website Jamsostek. Terdiri atas rumahsakit umum, klinik, dokter umum, spesialis, apotek, hingga optik.
Pembedaan layanan hanya pada ruang rawat inap. Ruang rawat kelas III diperuntukkan bagi peserta PBI, pekerja bukan penerima upah seperti wiraswastawan, dan peserta bukan pekerja. Sedangkan ruang rawat inap kelas II bagi PNS/TNI/Polri dan pensiunan golongan I dan II, karyawan dengan gaji maksimal dua kali penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dengan status kawin beranak satu. Adapun kelas I diperuntukkan bagi pejabat negara, PNS/TNI/Polri dan pensiunan golongan III dan IV, dan pekerja penerima gaji lebih dari dua kali PTKP berstatus kawin satu anak.
Bagi peserta JPK yang ingin “naik kelas” perawatan inap, misalnya dari kelas III ke kelas II atau I, dimungkinkan dengan membayar biaya tambahan ke rumahsakit. “Namun, itu tergantung rumahsakit juga, apakah mau menerima perpindahan dengan penambahan biaya,” jelas Anggi, petugas bagian pusat panggilan Jamsostek.
Rawat inap yang ditanggung maksimal selama 60 hari per kasus per tahun, termasuk perawatan di unit perawatan intensif (ICU). Tanggungan sudah termasuk biaya dokter dan obat yang terkait dengan penyakit. Lumayan juga, kan?
Namun, program ini tak menanggung general atau regular check-up. Penyakit seperti kanker, jantung, penyakit menular seksual, transplantasi, juga cuci darah, juga tak termasuk. Begitu pula dengan biaya pemeriksaan dengan alat canggih seperti MRI, DSA, serta TORCH.
So, bagaimana? Apakah program ini masih menarik?
Para perencana keuangan merasa produk ini cukup menarik, dilihat dari sisi cakupan jaminan dan besar iuran. “Menarik bagi yang berpenghasilan kurang Rp 40 juta per tahun,” tandas Prita Ghozie, perencana keuangan ZAP Finance.
Begitu pula dengan Risza Bambang, perencana keuangan Padma Radya. Dia menilai iuran dan layanan program ini boleh dikata relatif murah, meski kini juga sudah banyak asuransi kesehatan dengan premi kurang dari Rp 100.000 per bulan. Cuma, dia mengingatkan, pengalaman dari program terdahulu, layanan program asuransi kesehatan pemerintah biasanya terbatas. Contoh terdekat adalah pilihan rumahsakit rujukan dan kelas kamar untuk rawat inap.
Karena itu, sebelum buru-buru mendaftarkan diri lalu menghentikan semua polis asuransi kesehatan yang Anda miliki, Pandji Harsanto, perencana keuangan Fin-Ally Planning and Consulting, menyarankan kita untuk mencermati dahulu isi dan pelaksanaan program pemerintah itu. “Pelaksanaannya, kan bertahap, coba lihat dulu bagaimana penerapan tahap pertama untuk kalangan PNS/TNI/Polri, apakah sudah cukup memadai dan berkenan bagi Anda,” kata dia.
Menurut rencana pemerintah, per 1 Januari 2014 peserta yang wajib ikut adalah golongan PBI, anggota TNI/Polri, pemegang polis PT Askes (Persero), dan peserta JPK Jamsostek. Adapun target kepesertaan seluruh warga negara baru berlaku paling lambat pada 1 Januari 2019.

http://personalfinance.kontan.co.id/news/bpjs-berlaku-bagaimana-nasib-askes-kita/2013/03/19

Senin, 21 Oktober 2013

Asuransi Perlu atau Tidak Ya?




KOMPAS.com -
Meski sudah masuk ke Indonesia sejak zaman kolonial Belanda, produk asuransi di negeri ini masih belum populer di mayoritas masyarakat. Memiliki atau membeli asuransi bagi kebanyakan masyarakat Indonesia kadang dinilai sebagai hal tabu dan dianggap sebagai pemborosan. “Belum pasti kapan sakit dan mati, untuk apa keluar uang sejak sekarang?” begitu celetukan yang kerap kita dengar.
Di mata para pelaku industri asuransi, sedikitnya masyarakat yang telah “melek” asuransi kerap dituding sebagai biang penyebab belum ngetopnya produk asuransi di sini. Jangankan asuransi, produk perbankan saja belum semua masyarakat mengaksesnya.
Aset industri asuransi hingga September 2012 lalu baru Rp 322,2 triliun. Masih jauh ketimbang aset perbankan nasional yang telah mencapai Rp 4.262,59 triliun.
Kurang tertariknya sebagian golongan masyarakat melindungi diri dengan asuransi, tidaklah bijak jika dinilai sebagai tanda bahwa masyarakat masih kuno. Toh, tak ada seorang pun memiliki hak mutlak menyeragamkan dan menstandarkan tentang “apa yang baik” untuk kita, bukan?
Namun, di negeri yang tidak menyediakan perlindungan kesehatan bagi warga negara secara maksimal, kehadiran sistem jaminan sosial kesehatan adalah wajib. Apalagi program ini sudah menjadi amanat konstitusi. Hal itu, semoga saja bisa terealisasi sesuai harapan dengan pemberlakuan BPJS tahun depan.
Tapi, tentu saja, keputusan akhir mengenai perlu tidaknya asuransi berada sepenuhnya pada Anda. Yang jelas, meski dalam perencanaan keuangan, proteksi disarankan demi meminimalkan risiko pencapaian tujuan keuangan, pembelian polis harus dihitung cermat. “Kalau tidak butuh, ya, tidak perlu beli,” kata Pandji Harsanto, perencana keuangan Fin-Ally Planning & Consulting.
Anda punya hak utama untuk memutuskan. Jadi, jangan cuma karena takut disebut kuno, lantas sembarangan beli asuransi, ya! (Ruisa Khoiriyah)

http://lipsus.kompas.com/sunlife/read/2013/10/17/0939267/Asuransi.Perlu.atau.Tidak.Ya

Seberapa Pentingkah Asuransi Kesehatan?

KOMPAS.com - Biaya pemeriksaan kesehatan naik pesat dari tahun ke tahun. Laju inflasinya dapat mencapai 20 persen per tahun. Artinya, biaya untuk berobat tahun ini lebih tinggi 20 persen ketimbang tahun lalu. Tidak sedikit orang yang harus menjual harta bendanya karena harus membayar biaya pengobatan.
Sebenarnya risiko ini dapat dikurangi dengan memiliki asuransi kesehatan. Produk asuransi kesehatan yang ada di pasaran sangat beragam. Ada asuransi berjenis hospital cash plan, yaitu asuransi yang memberikan pergantian pada jumlah tertentu, misalnya Rp 500.000 per hari ketika kita dirawat rumah sakit. Ada pula asuransi penggantian yang memberikan penggantian secara terinci atas berbagai macam biaya yang kita keluarkan ketika berobat ke rumah sakit.
Pembayaran premi untuk asuransi jenis hospital cash plan biasanya lebih murah. Pasalnya, perusahaan asuransi sudah dapat mengukur berapa kira-kira biaya yang harus mereka keluarkan karena jumlahnya sudah pasti. Berapa pun biaya yang dikeluarkan oleh nasabah, perusahaan asuransi hanya wajib membayar dalam nilai yang tetap seperti telah tertuang dalam polis. Misalnya di dalam polis tertera nasabah akan mendapatkan biaya penggantian Rp 500.000 per hari. Jadi, jika nasabah mengeluarkan biaya perawatan di rumah sakit sebesar Rp 1 juta dalam satu hari, perusahaan asuransi hanya memberikan penggantian Rp 500.000 sesuai dengan ketentuan di awal. Sebaliknya, jika dalam satu hari nasabah mengeluarkan biaya Rp 400.000, penggantian yang diberikan perusahaan asuransi tetap Rp 500.000.
Sebaliknya, premi untuk asuransi penggantian akan lebih mahal ketimbang jenis hospital cash plan. Biasanya di dalam polis tertera apa saja tindakan medis yang mendapatkan penggantian beserta pagunya. Nasabah juga dapat memilih plan apa yang diinginkan. Misalnya plan A yang menawarkan biaya penggantian rumah sakit dengan jumlah Rp 250.000 per hari dan biaya dokter Rp 100.000 per hari. Selain itu, ada pula rincian penggantian setiap tindakan medis yang termasuk dalam lingkup asuransi. Sementara plan B menawarkan biaya penggantian kamar yang lebih besar, semisal Rp 500.000 per hari dengan biaya dokter Rp 200.000 per hari. Semakin banyak penggantian yang akan diberikan, semakin tinggi premi yang harus dibayarkan.
Eko Endarto, perencana keuangan dari Finansia Consulting, memberikan saran, sebaiknya kita mengumpulkan dahulu kira-kira layanan seperti apa yang kita inginkan. ”Misalnya kita nyaman dengan kelas VIP dengan biaya kunjungan dokter yang Rp 250.000 dan fasilitas lainnya. Kumpulkan semua datanya, baru nanti cari produk apa yang cocok dengan kebutuhan kita,” tutur Eko.

Asuransi untuk karyawanBagi mereka yang bekerja mandiri seperti wirausaha, free lancer yang tidak memiliki fasilitas asuransi dari institusi tempatnya bekerja, sudah seharusnya memiliki asuransi kesehatan. Pemerintah belum memberikan jaminan asuransi kesehatan bagi rakyat secara luas. PT Askes akan bertransformasi menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Askes yang berubah menjadi BPJS Kesehatan berlaku mulai 1 Januari 2014. Peserta yang secara otomatis bisa menjadi peserta BPJS per 1 Januari mendatang, yakni peserta Askes sendiri, peserta Jamkesmas, TNI dan Polri aktif, dan JPK Jamsostek. Selebihnya, masih menunggu proses kepesertaan. Sementara cakupan layanan kesehatan apa yang akan ditanggung oleh BPJS ini juga belum sepenuhnya dijelaskan secara terinci.

Bagaimana dengan karyawan yang biasanya sudah mendapatkan fasilitas dari tempat bekerja ? Coba cermati apakah asuransi dari tempat bekerja sudah mencukupi kebutuhan. ”Kalau penggantian dari kantor sangat tidak memadai, boleh beli lagi asuransi penggantian yang lengkap. Namun, kalau penggantian dari kantor hanya kurang sedikit saja belilah asuransi jenis hospital cash plan,” ujar perencana keuangan dari OneShild Consulting, Agustina Fitria.
Cermat membawa banyak manfaat....
(joice tauris santi)


http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/10/21/0816397/Seberapa.Pentingkah.Asuransi.Kesehatan.